Skip to main content

Berbagi Cerita Tentang Sekolah Anak di Hamilton

New Zealand education system


Sebelum lebih jauh, saya ingin menggarisbawahi judul di atas, catatan ringan ini adalah ‘berbagi cerita’, bukan ‘membandingkan’. Karenanya, jika anda kebetulan membaca tulisan ini, saya pastikan anda tak akan menemukan komparasi penilaian atas sekolah satu dengan sekolah lain. Pasalnya, saya sadar betul tidak mempunyai kapasitas ataupun legitimasi untuk membandingkan sekolah anak saya di kota Hamilton dengan sekolah di tempat lain. Selain itu, saya juga yakin bahwa setiap daerah mempunyai konteks yang unik, sehingga cukup sulit bagi saya menarik kesimpulan jika pemahaman di masing-masing konteks tidak memadai.

Kembali ke soal pengalaman sekolah anak saya di negeri Kiwi. Dua hal saja yang hendak saya ilustrasikan di sini, yaitu perihal zonasi dan pendekatan sekolah terhadap peserta didik.

Hal pertama, tentang zonasi. Sebagaimana kota-kota lain di Selandia Baru, kota Hamilton juga menerapkan sistem zonasi dalam penerimaan siswa peserta didik. Pembagian zona didasarkan pada distrik di masing-masing kota.

Jujur, pada awalnya, saat hendak mendaftarkan anak sekolah, salah satu pertanyaan utama saya adalah, dari sekian sekolah dasar, manakah yang paling ‘bagus’? Namun, setiap kali saya melontarkan pertanyaan tersebut, orang-orang di Hamilton selalu tersenyum dan mengatakan, “semua sekolah di sini bagus.” Saya pun kemudian menjelaskan kriteria saya tentang sekolah ‘bagus’. Misalnya, ramah pada anak baru yang sama sekali berbeda kultur, pendidikan karakter, menghargai perbedaan, mendorong kreativitas, dan lain sebagainya.
Jawaban yang sama kembali saya peroleh. “Iya, semua sekolah di sini bagus,” terang seorang guru di Hamilton. “Kami punya standar yang sama,” imbuhnya ringan.
Saya pun menimpali dengan pertanyaan lanjutan, “Apakah ada kemungkinan anak saya bakal tidak diterima di sekolah?”
“Tidak! Anakmu pasti diterima karena kami di sini mengakui bahwa semua orang berhak mendapat pendidikan yang baik,” ujarnya yakin.
Oh iya, sebagai ‘catatan kaki’, termaktub dalam kebijakan Kementerian Pendidikan negeri ini bahwa anak-anak berusia 6 – 16 tahun harus mendapat pendidikan, baik dengan cara datang ke sekolah atau belajar di rumah. Karenanya, pemerintah wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai.

Singkat cerita, anak saya pun kemudian terdaftar dan bersekolah di SD dekat rumah yang juga dekat dengan kampus saya.

Lantas, keuntungan apa yang saya peroleh ketika si bocah bersekolah dekat rumah? Tentu, keuntungan utama yang saya dapatkan adalah waktu dan biaya. Berjarak kurang dari tiga kilometer dengan rumah, kami bisa menjangkau sekolah hanya dengan sekitar 15 menit jalan kaki, atau kurang dari lima menit mengendarai mobil. Artinya, waktu yang dibutuhkan tidak banyak, dan jika harus mengendarai mobil, biaya bensin bisa ditekan! Selain itu, kami (saya, istri, dan anak) bisa lebih mengenal lingkungan dan tetangga. Setiap hari, sekitar pukul 8.30 pagi, saya selalu menjumpai para tentangga yang juga mengantarkan anaknya ke sekolah. Pun halnya dengan sore hari saat pulang sekolah. Secara alami, komunikasi kami dengan tetangga mulai terbangun. Dari hanya saling sapa, hingga berbincang tentang asal negara atau daerah masing-masing. Demikian halnya dengan si bocah. Anak saya acapkali bermain bersama dengan anak-anak tentangga, baik di sekolah maupun sepulang sekolah. Kini, menjadi kebiasaan anak saya memanjat pagar kayu garasi mobil, lalu berteriak memanggil temannya yang tinggal di samping flat kami. Setelah itu, mereka akan estafet memanggil temannya yang menghuni flat bagian depan, belakang, dan seterusnya. Alhasil, para krucil ini berkumpul untuk kemudian bermain bola, petak umpet, atau sekadar berkejar-kejaran. Usai bermain, anak saya selalu pulang membawa cerita baru dari obrolan bersama temannya, yang seringkali perihal kebiasaan di negara asalnya. Ada cerita dari Iran, Serbia, India, Afrika Selatan, dan juga dari suku Maori.

Terus terang, saya menyukai pendekatan zonasi ini lantaran para siswa berkesempatan lebih mengenal lingkungan sekitarnya. Ini adalah pondasi yang baik untuk setiap anak agar bisa mengkaitkan situasi dan kenyataan sekitarnya dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku sekolah. Pada akhirnya, sebagai anganan muluk saya, semoga si bocah mempunyai kemampuan menyambungkan realitas dengan pengetahuannya dan sebaliknya, sehingga kelak bisa menjadi modal untuk menjadi intelektual organik seperti yang didefinisikan Antonio Gramsci (1971).

Hal kedua yang hendak saya ceritakan dalam catatan ini adalah perihal pendekatan sekolah (terutama guru) terhadap peserta didik. Saya melihat secara langsung bagaimana ‘interaksi setara’ terjadi antara para guru dan pegawai sekolah dengan anak-anak peserta didik. Saya menggunakan kata ‘interaksi setara’ karena sebagai orang awam di dunia pendidikan, saya tidak mengetahui secara pasti istilah yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang didasari penghormatan penuh, kendati ada relasi kuasa yang tidak setara di dalamnya. Contoh sederhana, para guru yang tampak senior selalu merundukkan badannya saat berbicara dengan murid untuk menunjukkan bahwa mereka berada pada posisi yang sama. Pun, para anak diajak berdiskusi sebagai individu merdeka yang mempunyai kebebasan memilih, namun selalu dijelaskan konsekuensi dari setiap pilihannya. Setiap anak harus bertanggung jawab atas pilihannya. Di sisi lain, para guru juga sangat tegas menjalankan semua aturan yang sudah menjadi konsensus bersama.

Tahun 2012 silam, OECD merilis laporan tentang pencapaian anak didik terhadap pelajaran matematika dan tingkat kebahagiaannya. Dalam sebuah matriks, digambarkan posisi Selandia Baru sebagai salah satu negara dengan pecapaian nilai matematika tertinggi di dunia, disertai dengan kebahagiaan peserta didik. Saya tidak hendak berfokus pada nilai mata pelajaran matematika, karena pada dasarnya saya tidak percaya bahwa pencapaian nilai matematika merupakan ukuran absolut kecerdasan anak. Saya lebih tertarik untuk melihat bagaimana metode yang dipakai dalam pengajarannya, sehingga anak selalu menikmati belajar dan berujung pada tingginya tingkat kebahagiaan yang seimbang dengan tingkat pencapaiannya.

Saat penerimaan raport, saya dan istri memberanikan diri bertanya kepada guru yang juga wali kelas anak saya tentang bagaimana metode pengajaran yang selama ini dipakai. Untuk matematika, sang guru menunjukkan buku yang lebih dari setengahnya adalah gambar. Hanya sedikit angka! Menurutnya, di usia anak saya sekarang (7 tahun), lebih mudah mengingat segala sesuatu yang mempunyai visual gambar. Karenanya, pendekatan yang dipakai adalah bercerita dan mewarna untuk belajar matematika. Selain itu, dasar metode berhitung yang ditanamkan adalah menghafal kelipatan. Pantas saja, anak saya di rumah selalu menghafal angka-angka kelipatan layaknya menghafal mantra. Ternyata itu adalah salah satu metode yang diajarkan di sekolahnya.

Lalu tentang membaca. Tidak terlalu baru memang. Sang guru menjelaskan bahwa anak-anak sedang mengenali kata, tanpa harus selalu mengeja huruf per huruf. Buku-buku yang dibaca para siswa penuh gambar cerita dengan beberapa kalimat saja. Awalnya saya berpikir, kenapa banyak sekali pengulangan kata dalam buku cerita siswa. Ternyata itu adalah hal yang disengaja, bukan karena keterbatasan kosakata. Tujuannya adalah melekatkan kata dalam ingatan!

Selanjutnya tentang seni. Beruntung, di kelas anak saya terdapat seorang guru yang secara khusus membimbing para murid tentang seni. Adapun semangat utama yang didorongkan dalam pelajaran ini adalah ekspresi dan kreasi. Tak ayal, anak saya yang sedari awal memang sudah menyukai gambar dan warna, kini semakin kerap membuat gambar cerita. Saya bersyukur dia menemukan guru yang mempunyai kegemaran serupa, membuat komik! Beragam ide cerita terus dituangkan dalam gambar. Ada tentang tokoh games, ada kisah keluarga, dan ada pula cerita dia bersama teman-teman sekolahnya.

Akhirul kalam, kendati baru seumur jagung, pengalaman sekolah anak saya ini lumayan memberikan optimisme tentang menyiapkan pondasi yang baik bagi sang bocah. Saya juga banyak belajar atas pengalaman ini. Mengenali lingkungan sekitar, membangun karakter, dan mengembangkan kreatifitas. Semoga bermanfaat!     


Penulis: Taufiqul Mujib (taufiqul.mujib@gmail.com)


Tulisan ini adalah kiriman anggota PPI Hamilton. Pendapat yang terkandung di dalam tulisan ini bukan representasi PPI Hamilton. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini


Popular posts from this blog

Kuliah di NZ Membawa Keluarga: Ibu ke Kampus, Anak kemana?

Memilih dan menemukan supervisor yang tepat adalah tahapan penting yang harus dilakukan ketika berencana untuk melanjutkan kuliah S3. Tapi, bagi calon student-mom s dan memutuskan membawa keluarga dalam masa studinya pertimbangan yang tak kalah pentingnya adalah menemukan informasi mengenai childcare dan sekolah anak.   Cerita tentang sekolah anak di Hamilton bisa dilihat di postingan ini ( https://ppihamilton.blogspot.com/2019/07/berbagi-cerita-tentang-sekolah-anak-di.html ), sedangkan dalam tulisan ini saya akan bercerita mengenai Early Childhood Education (ECE) di New Zealand, khususnya Hamilton. Apa itu ECE? Dalam sistem pendidikan New Zealand, ECE diperuntukkan bagi anak baru lahir s.d. usia masuk sekolah. Usia wajib sekolah di NZ adalah 6 – 16 tahun, tetapi umumnya ketika anak menginjak usia 5 tahun mereka sudah bisa memulai sekolah di primary school tanpa harus menunggu tahun ajaran baru mulai. ECE atau di Indonesia mungkin kita kenal dengan istilah PAUD, bukan me...

Persiapan sebelum Keberangkatan ke New Zealand

Sumber: Wikipedia Artikel ini menyajikan persiapan sebelum pindah ke Hamilton, Selandia Baru terutama untuk sekolah atau studi lanjut. Visa Visa untuk pelajar/ mahasiswa adalah Student Visa, dengan durasi sesuai lama program pendidikan. Dua syarat pertama kelengkapan visa adalah: surat penerimaan ( offering letter/ acceptance letter ) dari sekolah atau universitas tujuan dan sumber finansial (dana pribadi atau beasiswa). Jika apply untuk visa lebih dari satu tahun, maka perlu hasil cek kesehatan dan surat keterangan catatan kepolisian. Jika pelajar membawa keluarga (istri/ suami dan anak), maka pengajuan visa mereka dapat dilakukan bersamaan saat pelajar mengajukan aplikasi student visa. Jenis visa yang didapatkan oleh keluarga akan tergantung pada jenis dan durasi program yang ditempuh. Informasi visa dapat dilihat pada tautan  ini Tips: Usahakan memiliki paspor dengan masa berlaku lebih lama daripada durasi belajar. Hal ini untuk menghindari perpanjangan paspo...

Kota Hamilton, Selandia Baru

Artikel ini menjelaskan informasi praktis tentang Hamilton, Selandia Baru. Cuaca Selandia Baru terletak di belahan bumi selatan. Musim panas berlangsung di bulan Desember-Februari sementara musim dingin berlangsung di bulan Juni-Agustus. Suhu rata-rata di Hamilton berkisar antara 14°C - 21°C, namun pagi hari di saat  winter  di beberapa daerah dapat mencapai 0°C dan tidak terdapat salju di kota ini.  Prakiraan cuaca selalu menjadi rujukan terutama saat hendak beraktivitas luar ruang. Metservice memberi informasi akurat tentang prakiraan cuaca termasuk peringatan ( warnings ) atas cuaca buruk.  Saaat musim panas berlaku  day light saving , yakni jarum jam dimajukan satu jam untuk mengakomodasi  daylight  (waktu terang) yang lebih lama. Biasanya dimulai bulan September dan berakhir di bulan April tahun berikutnya. Pemberitahuan resmi biasanya terdapat di internet dan media massa.  Bandara Bandara di Hamilton hanya melayani pener...

Ketua dan Wakil Ketua Baru PPI Hamilton

Sebanyak 12 anggota PPI Hamilton berkumpul di Wellbeing Hub dan ruang meeting MS1-WMS pada Jumat, 2 Agustus 2019. Terdapat empat agenda yang menjadi pokok pembahasan. Pertama, pemilihan ketua dan wakil ketua PPI Hamilton untuk periode 2019-2020. Berdasarkan pertimbangan jumlah peserta yang hadir telah memenuhi kuorum, disepakati metode pemilihan dengan metode pemungutan suara terbanyak (voting) secara tertutup. Hasil yang diperoleh adalah terpilihnya Sdr. Sandy Satyatama sebagai ketua dan Sdri. Beatriec Tjahja sebagai wakil ketua. Agenda kedua adalah persiapan pertemuan dengan Ms. Laura Hill, Regional Manager for South East Asia and New Zealand, the University of Waikato. Pertemuan kali ini membahas lebih teknis acara sekaligus hal-hal yang akan dibicarakan di pertemuan tersebut. Pertemuan ini sendiri direncanakan pada pertengahan Agustus 2019. Pertemuan ini diinisiasi oleh pihak universitas sebagai bagian dari program universitas untuk menjalin relasi lebih erat dengan komunitas pel...

Memilih Hunian di Hamilton, Selandia Baru

Sumber: nzherald.co.nz Pencarian tempat tinggal di Hamilton dapat dilakukan sejak dari Indonesia. Ada berbagai pilihan akomodasi atau tempat tinggal. Jika datang seorang diri (tanpa keluarga), pelajar dapat memilih untuk tinggal di area kampus ( on-campus ) atau di luar kampus ( off-campus ). Untuk pelajar yang membawa keluarga, pilihannya hanya menyewa rumah atau apartemen/flat. Jumlah kamar yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga dan usia anak. Idealnya satu anak mendapatkan satu kamar, namun anak yang masih terlalu kecil dapat tidur di kamar orang tua. Maka, keluarga dengan satu anak, terlebih jika anak masih belum usia sekolah, masih berpeluang untuk menyewa rumah atau flat satu kamar. Keluarga dengan dua anak, harus menyewa rumah atau flat minimal dua kamar. Begitu seterusnya. Gunakan fitur pencarian di berbagai agen properti seperti Lodge , Ray White , Hartcourts , atau Eves . Untuk flat sharing , bisa gunakan pencarian di studentflat.co.nz atau nzfla...

Pengalaman Kepulangan ke Indonesia di Masa Pandemi COVID-19

         Setelah menyelesaikan studi di New Zealand, tantangan selanjutnya adalah bagaimana saya bisa kembali ke Indonesia terutama dalam kondisi pandemi COVID-19 ini. Sebenarnya, tidak terlalu sulit untuk kembali ke Indonesia dalam masa seperti ini. Pemerintah Indonesia hanya memperketat semua orang yang memasuki wilayah Indonesia dengan tes PCR ( swab ). Tes ini bisa dilakukan di negara asal kita berangkat (dalam hal ini New Zealand) atau di Indonesia. Hasil tes negatif dari negara asal akan diakui di bandara kita mendarat sehingga kita tidak perlu lagi tes  swab  setelah mendarat. Jika kita memilih untuk tes  swab  di Indonesia, segera setelah mendarat kita akan diarahkan untuk mengikuti tes dan selama menunggu hasilnya, akan dikarantina terlebih dahulu. Yang saya pilih dalam proses ini adalah tes  swab  di New Zealand. Perlu diingat bahwa tes ini harus dilakukan paling lama 7 hari sebelum tanggal kita masuk ke wilayah Indonesi...

Pilihan Tempat Belanja Kebutuhan Harian

Kota Hamilton lebih dikenal sebagai kota pelajar dibandingkan dengan kota perekonomian, namun beberapa shopping center di kota ini juga terkenal sebagai salah satu yang terbesar di Waikato Region. Membahas mengenai berbelanja, umumnya tempat belanja dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu grocery shopping , kebutuhan rumah tangga, dan shopping center (atau di Indonesia lebih dikenal sebagai mal). Dalam ulasan kali ini, kami akan membahas mengenai tempat-tempat untuk melakukan grocery shopping di Hamilton. Pilihan utama untuk berbelanja kebutuhan memasak dan kebutuhan dapur lain dapat berupa supermarket atau Asian shop/supermarket . Supermarket umumnya menjual berbagai kebutuhan yang Anda perlukan dari fresh food, frozen food , bumbu dapur, makanan instan, dan sebagainya, namun supermarket lebih fokus pada makanan yang bergaya barat, sehingga Anda perlu berbelanja di Asian supermarket jika membutuhkan beberapa bahan khas negara-negara di Asia. Berikut adalah tiga supermarket terken...

Students' Gathering Agustus 2019

Kemeriahan students' gathering dan sekaligus penyambutan beberapa anggota baru dirasakan oleh segenap anggota PPI Hamilton pada Rabu (14/08/2019). Acara yang dilaksanakan di Wellbeing Hub, the University of Waikato, dihadiri oleh sebagian besar anggota PPI Hamilton. Acara diawali dengan makan malam (potluck), kemudian dilanjutkan dengan sesi bincang santai. Acara formal kemudian dimulai dengan sesi perkenalan, pengarahan dari ketua PPI Hamilton, Sdr. Rajasa, serta pengarahan dan perkenalan ketua terpilih, Sdr. Shandy. Acara kemudian ditutup dengan sesi foto bersama. (TS) Galeri:

Kelas Bahasa Indonesia

Hari Kamis, 19 September 2019 berlangsung pertemuan perdana belajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing yang diinisiasi oleh PPI Hamilton. Kegiatan ini diselenggarakan di the Bank (Old ANZ Bank), kompleks Student Village, the University of Waikato. Pertemuan ini dalam rangka kontribusi aktif PPI Hamilton dalam mempromosikan bahasa dan budaya Indonesia, dan sekaligus sebagai wujud nyata aktivitas PPI Hamilton sebagai bagian dari Waikato Student Union. Fasilitator pertemuan ini adalah Sdri. Novi, Sdri. Peggy, Sdr. Bram, serta Sdri. Beatriec. Materi minggu ini berfokus pada perkenalan diri dalam Bahasa Indonesia. Materi didahului oleh dasar-dasar pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, seperti huruf dan imbuhan serta pengucapannya. Seusai materi, peserta juga diajak langsung mempraktekkan pengucapannya dalam bahasa Indonesia. Model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran langsung. Sesuai dengan target peserta, materi bersifat andragogi (pembelajaran dewasa) dan berfoku...